KKN di Desa Penari Versi Nur

oleh
D_7AOq0VAAISarB

 

“kancamu kui, gelek gowoh muleh sesajen, trus, di deleh nang nisor bayang’e,” (temanmu itu, sering membawa pulang sesajen, trus dia menaruh benda itu di bawah ranjang) Nur masih mencoba menahan diri, ia masih tidak bereaksi mendengar Bima di tuduh seperti itu oleh Anton.

 

 

 

 

 

namun, seketika emosi Nur tak terbendung saat Anton mengatakan itu. “trus, nang ndukur Sesajen iku, onok fotone kancamu, Widya, opo, Bima kate melet Widya yo” (trus, di atas sesajen itu, aku menemukan foto temanmu, Widya, apa, Bima mau pelet si Widya ya)

 

 

 

 

 

“awakmu gor di jogo yo lambene, ojok maen fitnah yo” (kamu itu, tolong di jaga mulutnya, jangan maen fitnah seperti ini) “nek awakmu gak percoyo, ayok tak jak nang kamare, ben awakmu ndelok, nek aku gak mbujuk” (kamu kalau gak percaya ayo sini ikut, tak tunjukkan kalau aku-

 

 

 

 

 

tidak pernah berbohong) mendengar Anton menantang seperti itu, saat itu juga, Nur mengikuti Anton yang tengah berjalan menuju tempat mereka menginap.

 

 

 

 

 

seketika Nur tidak bisa berbicara apa-apa saat melihat itu di depan mata kepalanya sendiri, seperti Nur ingin menghantam kepala Bima saat itu juga. ia tidak pernah tahu, Bima segila ini. teman sepondok pesantrenya jadi seperti ini.

 

 

 

 

 

“aku wani ngajak awakmu awan ngene soale aku apa nek ngene iki, Bima nang kebon kaspe ambek Ayu, nggarap proker’e, gak masalah opo-opo, tapi, asline aku wedi yu, ben bengi, aku krungu suoro arek wedok nang kene”

 

 

 

 

 

(alasan kenapa aku berani ngajak kamu kesini karena aku tahu, si Bima dan Ayu pasti sekarang garap prokernya di kebun ubi, bukan masalah apa-apa sih, tapi sebenarnya aku takut, setiap malam, aku dengar suara perempuan disini)

 

 

 

 

 

ucapan Anton yang terakhir, membuat Ayu tidak dapat bicara lagi, saat ia, termenung sendiri, entah kenapa, insting Nur, mengatakan ada yang di sembunyikan oleh temanya. “sopo sing nang kamar ambek Bima?” (siapa yang ada dikamar sama Bima?) “yo iku masalahne” (itu masalahnya)

 

 

 

 

 

“ben tak enteni cah iku metu, gak onok sing metu takan kamare” (setiap tak tungguin, tidak ada yang keluar dari kamarnya) Nur, tiba-tiba mendekati almari, ia merasa mendengar sesuatu disana. tepat ketika, almari itu terbuka, Nur dan Anton tersentak kaget saat melihat, ada ular

 

 

 

 

 

-didalamnya. Ular itu berwarna hijau, kemudian lenyap setelah melewati jendela posyandu. Anton dan Nur hanya saling menatap satu sama lain, tidak ada hal lagi yang harus mereka bicarakan.

 

 

 

 

 

semenjak saat itu, Nur selalu mengawasi Bima, bahkan ketika akhirnya pak Prabu tiba-tiba mengatakan bahwa mereka semua akan tinggal satu atap, meski terpisah dengan sekat. dari situ juga, Nur jadi lebih tahu, Bima seringkali mengawasi Widya tanpa sepengetahuan siapapun

 

 

 

 

 

yang paling tidak bisa Nur lupakan adalah, saat ia bertanya perilah kenapa ia jarang melihat Bima sholat lagi. Bima selalu berdalih, tidak ada alasan kenapa ia harus mengatakan pada orang saat ia beribadah. meski Bima selalu bisa membalik pertanyaan Nur, ia tahu, Bima berbohong

 

 

 

 

 

puncaknya, ketika itu, sore hari, Nur barusaja selesai sholat asar di dalam kamar, tiba-tiba, ia mendengar suara bising dari samping kamar, Nur pun beranjak, mencari sumber suara. manakala ketika ia mencari, ia melihat Bima, sedang menabur sesuatu di tempat dimana Widya

 

 

 

 

 

biasa duduk. Nur, yang selalu membersihkan bunga-bungaan itu. aneh, namun kelakukan Bima semakin membuat Nur penasaran. namun, masalah tidak hanya berhenti di Bima saja, melainkan sahabatnya Widya. setelah maghrib, Nur pergi ke dapur untuk minum, saat, ia melihat Widya-

 

 

 

 

 

menatapnya. wajahnya kaget dan bingung melihat Nur, “lapo Wid?” tanya Nur yang juga kaget dan bingung. mata mereka saling bertemu, namun, hanya untuk saling mengamati satu sama lain.

 

 

 

 

 

ketika Nur mendekati Widya, tiba-tiba Widya berlari ke kamar, lalu kembali menemui Nur, matanya tampak seperti barusaja melihat setan. “onok opo toh asline?” (ada apa sih sebenarnya?) tanya Nur. Nur melihat tangan Widya sampai gemetaran,

 

 

 

 

 

Nur tidak tahu, kenapa Widya menjadi seperti ini, sampai pertanyaan Ayu, membuat Nur terhenyak dan menyadari anak-anak semua berkumpul disana. “ramene, onok opo toh” (ramai sekali, ada apa sih) tanya Ayu.

 

 

 

 

 

“gak eroh, cah iki, di jak ngomong ket mau, meneng tok” (tidak tahu, anak ini, di ajak ngomong diam saja daritadi) “lapo Wid?” (kenapa Wid?) tanya Wahyu yang mendekati. “tanganmu kok sampe gemetaran ngene, onok opo seh asline?” (tanganmu kok sampai gemetar begini, ada apa?)

 

 

 

 

 

kata Anton tidak kalah penasaran. “Nur jupukno ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae” (Nur ambilkan air minum gitu loh, kok malah diam saja) kaget mendengar teguran Anton, Nur lalu mengambil teko air, dan memberikanya pada Widya, disini hal mengerikan itu terjadi..

 

 

 

 

 

ketika Widya meneguk air dari teko yang sama dengan teko yang Nur minum tadi, tiba-tiba Widya berhenti meneguknya, membiarkan air itu berhenti di dalam mulutnya, lantas, Widya kemudian memasukkan jemarinya ke dalam mulut, dan darisana, keluar berhelai-helai rambut hitam panjang.

 

 

 

 

 

Nur dan yang lainya terperangah manakala Widya menarik sulur rambut itu dengan tanganya, tidak ada yang bisa berkomentar, lalu, Widya memeriksa isi teko, disana, semua orang melihat, didalamnya, ada segumpal rambut hitam panjang didalamnya.

 

 

 

 

 

insiden itu membuat Widya memuntahkan isi perutnya, di tengah ketegangan itu, Anton tiba-tiba berucap “Wid, awakmu di incer ya, nek jare mbahku, lek onok rambut gak koro metu, iku nek gak di santet yo di incer demit”

 

 

 

 

 

(Wid, ada yang ngincar kamu ya, kalau kata kakekku, bila tiba- keluar rambut entah darimana, biasanya kalau tidak di santet ya di incar setan) ucapan Anton, membuat suasana semakin tidak kondusif, ditengah kepanikan itu, tiba-tiba Nur, teringat dengan sosok penari yg ia lihat

 

 

 

 

 

“Wid, opo penari iku jek ngetutno awakmu, soale ket wingi, aku gorong ndelok nang mburimu maneh” (Wid, apa penari itu masih mengikuti kamu, soalnya dari kemarin, aku belum melihatnya lagi) ucapan spontan Nur, membuat semua orang mengerutkan dahi, sehingga Nur akhirnya diam.

 

 

 

 

 

setelah kejadian itu, Nur merasa bersalah, sehingga ia mencoba menjauhi Widya, disini, tanpa sengaja, Nur mencuri dengar suara seseorang yang tengah berteriak satu sama lain Nur terdiam untuk mendengarkan rupanya, suara itu berasal dari Ayu dan Bima, untk apa mereka berkelahi

 

 

 

 

 

ada satu kalimat yang paling di ingat oleh Nur, adalah, kalimat ketika Bima mengatakan. “nang ndi Kawaturih sing tak kek’no awakmu, aku kan ngongkon awakmu ngekekno nang Widya seh!!! kok arek’e gorong nerimo iku!!” “dimana mahkota putih yang aku serahkan sama kamu-

 

 

 

 

 

aku kan sudah nyuruh kamu memberikanya kepada Widya!! kok dia belum nerima benda itu!!” Nur tidak memahami maksud mahkota putih itu, namun, Nur mengerti, ada sesuatu, diantara mereka.

 

 

 

 

 

semenjak kejadian itu. Nur merasa, firasatnya semakin buruk, di mulai dengan suara berbisik dari warga. banyak warga yang mengeluhkan bahwa proker Ayu dan Bima adalah proker yang paling banyak di tentang, namun Nur belum paham alasan kenapa di tentang. sampai Anton memberitahu.

 

 

 

 

 

“Bima, kancamu kui, kate gawe rumah bibit, nang nduwor Tapak tilas, yo jelas di tentang, wong enggon iku keramat” (temanmu si Bima, dia mau buat rumah bibit, di jalan tapak tilas, tentu saja banyak yang gak terima, itu tempat di keramatkan) Nur masih belum mengerti maksud Anton.

 

 

 

 

 

“tapak tilas, nggon opo iku, kok sampe di larang, kan bagus proker’e gawe kemajuan desa iki” (Tapak tilas itu tempat apa, kok sampai di larang, kan bagus proker mereka untuk kemajuan desa ini) ucap Nur, “yo aku gak eroh, wong, di larang kok” (ya aku mana tau, pokoknya di larang)

 

 

 

 

 

“nang ndi seh, nggon iku, kok aku gak eroh, awakmu isok ngeterno aku gak?” (dimana sih tempatnya, kok aku gak tau, kamu bisa antarkan aku kesana) ucap Nur penasaran “Lha matamu, gendeng’a wong pak Prabu ae mewanti ojok sampe melbu kunu, iku ngunu langsung alas”

 

 

 

 

 

(lha, matamu, gila aja, pak Prabu sendiri melarang masuk kesana, itu tempat langsung ke hutan belantara) namun, Nur masih penasaran, sehingga ia tetap bersikeras mau kesana, jadi ia bertanya pada Anton meski dengan mengatakan bahwa ia bertanya untuk menghindari tempat itu.

 

 

 

 

 

Anton, setuju. ia memberitahu ancer (letak) tempat itu berada, yang ternyata adalah lereng bukit dengan satu jalan setapak ke atas, di sampingnya, memang adalah perkebunan ubi tempat Bima dan Ayu melaksakan proker, namun, sore itu, 2 anak itu tidak ada disana. entah kemana.

 

 

 

 

 

setelah selesai memberitahu, Anton mengajak Nur pergi darisana, namun, Nur mengatakan, sore ini ada janji temu dengan pak Prabu, jadi jalan mereka akan berpisah disini. meski awalnya Anton curiga, namun akhirnya ia percaya dan pergi. setelah Anton pergi, Nur menatap tempat itu

 

 

 

 

 

ia menatap lama, gapura kecil, sama seperti yang lain, ada sesajen disana, tidak hanya itu, gapura itu di ikat dengan kain merah dan hitam, yang menandakan bahwa tempat itu sangat di larang, namun, insting rasa penasaranya sudah tidak tertahankan lagi, seperti memanggil.

 

 

 

 

 

jalanya menanjak dengan sulur akar dan pohon besar disana-sini, butuh perjuangan untuk naik, namun anehnya, jalan setapak ini seperti sengaja di buat untuk satu orang, sehingga jalurnya mudah untuk di telusuri, menyerupai lorong panjang dengan pemandangan alam terbuka.

 

 

 

 

 

Nur menyusuri tempat itu, langit sudah berwarna orange, menandakan hanya tinggal beberapa jam lagi, petang akan datang. meski tidak tahu apa yang Nur lakukan disini, namun perasaanya seolah terus menerus mendesaknya untuk melihat ujung jalan setapak ini, kemana ia membawanya.

 

 

 

 

 

angin berhembus kencang, dan tiap hembusanya, membawa Nur semakin jauh masuk ke dalam, ia tidak akan bisa keluar dari jalan setapak karena rimbunya semak belukar dengan duri tajam yang bisa menyayat kulit dan kakinya. namun, ia semakin curiga, semakin masuk, sesuatu ada disana

 

 

 

 

 

tetapi, ia harus kecewa, ketika di ujung jalan, bukan jalan lain yang ia lihat, namun, semak belukar dengan pohon besar menghadang Nur, di bawahnya di tumbuhi tanaman beluntas yang rimbun, jalan ini, tidak dapat di lewati lagi. lalu, kenapa tempat ini seolah di keramatkan.

 

 

 

 

 

apa yang membuat tempat ini begitu keramat bila hanya sebuah jalan satu arah seperti ini. langit sudah mulai petang, Nur bersiap akan kembali, tetapi, langkahnya terhenti saat ia merasa ada hembusan angin dari semak beluntas di depanya, ia pun, menyisir semak itu, sampai..

 

 

 

 

 

Nur melihat sebuah undakan batu yang di susun miring, ia tidak tahu, rupanya ia berdiri di tepi lereng bukit, meski awalnya ragu, Nur akhirnya melangkah turun, menjajak kaki dari batu ke batu sembari berpegang kuat pada sulur akar di lereng, ia sampai di bawah dengan selamat

 

 

 

 

 

seperti dugaanya, ada tempat tak terjamah di desa ini, manakala Nur melihat dengan jelas, sanggar atau bangunan yang lebih terlihat seperti balai sebuah desa, namun, kenapa tempat ini tidak terawat. Nur berkali-kali melihat langit, hari semakin gelap, namun, ia justru mendekat

 

 

 

 

 

layaknya sebuah tanah lapang dengan bangunan atap yang bergaya balai desa khas atap jawa, Nur mengamati tempat itu setengah begidik. selain kotor dan tak terurus, tidak ada apapun disini, kecuali, sisi ujung dengan banyak gamelan tua tak tersentuh sama sekali.

 

 

 

 

 

butuh waktu lama untuk Nur mengamati tempat ini sampai ia mengambil kesimpulan, tempat ini sengaja di tinggalkan begitu saja, kenapa? ia menyentuh alat musik kendang, mengusapnya, dan semakin yakin, tempat ini sudah sangat lama di tinggalkan.

 

 

 

 

 

setiap Nur menyentuh alat-alat itu, ia merasa seseorang seperti memainkanya, ada sentuhan kidung di telinganya. Nur sendirian, namun, ia merasa, ia berdiri di tengah keramaian. kegelapan, sudah menyelimuti tempat itu, langit sudah membiru, namun. Nur merasa tugasnya belum selsai

 

 

 

 

 

sampai, Nur tersentak oleh sebuah suara Familiar yang memanggil namanya, ketika Nur berbalik menatap sesiapa yang baru saja memanggilnya, Nur mematung melihat Ayu, berdiri dengan muka tercengang, dari belakang, muncul Bima, tidak kalah tercengang suasana menjadi sangat canggung

 

 

 

 

 

“yu, Bim? kok nang kene?” (yu, bim, kok kalian ada disini?) Ayu dan Bima hanya mematung, tidak menjawab pertanyaan Nur sama sekali, hal itu, membuat Nur mendekati mereka, melewatinya dan kemudian ia melihat ada sebuah gubuk di belakang bangunan ini. Nur berbalik, ia kecewa

 

 

 

 

 

“Bim, abah karo umi nek eroh kelakukanmu yo opo yo, sebagai konco, aku gak nyongko loh Bim” (Bim, Abah sama Umi kalau tahu perbuatanmu gimana ya, sebagai temamu lama, aku tidak menyangka hal ini sama sekali) Bima hanya diam, Ayu, apalagi.

 

 

 

 

 

“Nur, tolong” ucap Ayu, menyentuh lengan Nur, “aku gak ngomong mbek koen yu, aku ngomong karo Bima” (aku gak bicara sama kamu yu, aku mau bicara sama Bima) tatapan Nur membuat Ayu beringsut mundur, Bima masih diam, sebelum Nur akhirnya menggampar tepat di pipinya Bima.

 

 

 

 

 

“wes ping piro?” (sudah berapa kali?) tanya Nur. “pindo’ne” (kedua kalinya) Nur tidak tahu harus berucap apa, “sek ta lah, opo sing jare Anton nek krungu suara cah wadon gok kamarmu iku koen ambek Ayu!!” (tunggu, ini artinya, apa yang dikatakan Anton soal dia dengar suara-

 

 

 

 

 

-perempuan di kamarmu itu kamu sama ayu!!) namun, Bima menatap wajah Nur dengan kaget, tidak hanya itu, Ayu juga terperangah tidak percaya, kemudian menatap Bima dengan sengit, seakan Nur salah bicara. “maksude Nur?” (maksudnya Nur?!) tanya Ayu kaget.

 

 

 

 

 

“Bim, ojok ngomong awakmu!!” (Bim jangan bilang kamu!!) “wes wes, ayo mbalik, engkok tak ceritakno kabeh, tulung, ojok ngomong sopo sopo dilek yo Nur” (sudah, ayo kembali dulu, nanti tak ceritakan semua, tolong jangan ngomong ke siapa2 dulu, ya Nur) Nur, Ayu dan Bima pergi.

 

 

 

 

 

wajah Bima tegang, seakan-ia di kejar sesuatu, hingga akhirnya ia keluar dari tempat itu, langit sudah gelap gulita, dan Nur, merasa ada yang mengikuti mereka semua.

 

 

 

 

 

setelah sampai di rumah, Nur meminta Bima dan Ayu berkumpul di belakang rumah, sementara Anton menyesap rokok di teras, sedangkan Wahyu dan Widya, belum juga pulang, mereka tidak tahu masalah ini, karena Nur merasa hal ini memang tidak seharusnya di ketahui semua orang.

 

 

 

 

 

“sak iki ceritakno kok iso’ne kanca KKN dewe loh di garap ngene” (sekarang ceritakan, saya mau dengar, kok bisa ya, teman KKN di hajar seperti ini) kata Nur, Ayu masih diam, ia memikirkan ucapan Nur yang tadi, Bima mulai berbicara.

 

 

 

 

 

“khilaf aku Nur” kata Bima, seakan apa yang di ucapkan dari mulutnya terdengar sepele, “gak isok nek ngunu, bakal tak gawe rame masalah iki ambek keluargamu, lanang iku kudu wani tanggung jawab ambek perbuatane” (tidak bisa seperti itu, akan ku buat ramai nanti sama keluargamu-

 

 

 

 

 

laki-laki harus berani bertanggung jawab atas perbuatanya) Ayu yang sedari tadi diam, kemudian bicara. “Nur, tolong, ojok di gawe rame disek, yo opo engkok reaksine warga, pak prabu, utowo arek2” (Nur, tolong, jangan di buat ramai dulu, gimana coba reaksi semua orang) ucap Ayu

 

 

 

 

 

“aku bakal tanggung jawab Nur, muleh tekan kene, Ayu bakal tak rabi Nur” (aku akan tanggung jawab, Ayu akan saya nikahi habis pulang darisini) “goblok ya wong loro iki, dipikir masalah iki mek masalah mu tok tah, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir liane, gak mikir-

 

 

 

 

 

-jeneng kampusmu, gak mikir keluargamu, gak mikir agamamu, nek ngomong mu mek ngunu, penak yo, kari rabi tok, gak iling opo iku karma yo” (goblok ya kalian, di kira ini masalah sepele, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir yang lain, gak mikir nama kampusmu, gak mikir-

 

 

 

 

 

keluargamu, kalau memang cuma masalah pernikahan ya enak ya, tapi kalian lupa dengan yang namanya karma tabur tuai) Ayu yang mendengar itu perlahan sesenggukan, Nur tahu, ia menangis, namun Bima, ia seperti menyembunyikan sesuatu. ada yang belum ia jelaskan sama sekali.

 

 

 

 

 

Anton tiba-tiba muncul sembari mengatakan, “cah loro iku wes teko, mboh tekan ndi, mosok moleh sampe bengi ngene” (itu loh, dua temanmu sudah datang, entah darimana, masa pulang sampai larut begini) “Widya karo wahyu ton?” (Widya sama wahyu ya ton) Anton mengangguk. “iyo”

 

 

 

 

 

Nur melihat Widya, wajahnya tampak letih, sperti barusaja mengalami kejadian tidak mengenakan, semua orang sudah menunggu kedatangan dua anak ini, yg berjanji akan membelikan keperluan titipan mereka, namun, dari belakang, Wahyu tampak sangat bersemangat seakan ia membawa sesuatu

 

 

 

 

 

entah karena suasana hati semua orang buruk di ruangan itu, Bima mencoba mencairkan suasana, “loh, kok kaku ngene seh” (kok jadi canggung gini sih) Bima mendekati Widya, “awakmu pasti pegel kan,” “istirahat sek Wid” (kamu pasti kecapekan kan, yao istirahat dulu Wid) kata Bima.

 

 

 

 

 

namun, Nur dan ayu, memandang sengit perlakuan Bima, sehingga Widya merasa ada yang salah dengan mereka semua.

 

 

 

 

 

namun, Wahyu yang sedari tadi menggendong isi tasnya, langsung mengambil alih perhatian mereka, dengan nafas menggebu-nggebu, ia bercerita pengalamanya yang baru saja di tolong warga desa tetangga karena motornya mogok, namun, anehnya, semua orang memandang Wahyu dengan sinis

 

 

 

 

 

Bima yang pertama menanggapi ucapan Wahyu. “Deso tetangga opo? gak onok maneh deso nang kene?” (desa tetangga apa, gak ada lagi desa disini) kata Bima mengingatkan. “halah, ngapusi, eroh teko ndi awakmu?!” (halah, bohong kamu, tahu darimana?) sanggah Wahyu saat itu.

 

 

 

 

 

“aku wes sering nang kota, mbantu warga deso dodolan hasil alam, dadi gor titik aku paham wilayah iki” (aku sudah sering ke kota, bantu warga jual bahan alam disini, jadi ya tau sedikitnya daerah ini) “ngapusi koen halah tot” (bohong kamu dasar, sial)

 

 

 

 

 

Nur yang sedari tadi mendengar, membantu Bima, “bener mas wahyu, gak onok deso maneh nang kene,” (bener mas Wahyu, gak ada lagi desa disini.) alih-alih setelah mendengar itu, Wahyu semakin tidak terima,ia kemudian memanggil Widya, “Wid duduhno opo sing di kek’i-

 

 

 

 

 

-ambek warga sing nang tasmu” (Wid tunjukan oleh-oleh yang di kasih tadi sama warga di dalam tasmu) dengan enggan Widya membuka isi tasnya, Wahyu yang sudah tidak sabar segera merebutnya, meraihnya dengan tanganya, namun, ekspresinya berubah manakala ia mengeluarkan barang itu.

 

 

 

 

 

Widya yang melihat benda itu sama kagetnya dengan wahyu, namun Nur yang melihatnya tampak bingung, pun dengan semua orang saat itu, benda seperti apa yang di bungkus dengan pelepah daun pisang seperti itu. Nur sempat melihat Wahyu dan Widya bertukar pandang, ia tahu ada yg salah

 

 

 

 

 

saat Wahyu membukanya, kaget, yang ada di dalamnya rupanya adalah kepala monyet terpenggal dengan darah yang masih segar. seketika, reaksi semua orang membalikkan wajahnya, termasuk Nur yang segera mengambil kain untuk menutupinya, baunya amis dan membuat seisi ruangan mual

 

 

 

 

 

Wahyu tampak shock, Widya apalagi, Ayu segera membopongnya masuk ke dalam kamar, sementara Bima dan Anton, segera membereskan semua itu. Wahyu, ia muntah sejadi-jadinya, semalaman, semua orang termenung dengan berbagai kejadian ganjil, termasuk Nur, dimana Widya mencuri pandang

 

 

 

 

 

Malam setelah Widya dan Ayu melepas penat, Nur terbangun, ia tiba-tiba teringat dengan ucapan Bima dan Ayu yang tanpa sengaja ia curi dengar. dengan cekatan dan mengambil resiko, Nur mengambil isi tas Ayu, membawanya menuju ke pawon (dapur) sendirian. ia merasa, benda itu disana

 

 

 

 

 

Nur membongkar semua benda-benda itu, namun, tidak ada yang aneh, toh dia sudah mengeluarkan isi tasnya, sebelum, Nur sadar, masih ada resleting tas yang belum ia buka, tepat ketika Nur membukanya, ia bisa mencium aroma wewangian di dalamnya. sebuah selendang hijau milik penari

 

 

 

 

 

tiba-tiba, tangan Nur seperti gemetar hebat, nafasnya menjadi sangat berat, tempat ia berada seakan-akan menjadi sangat dingin dan, tabuhan kendang di ikuti alunan gamelan berkumandang, Nur tahu, si penari ada disini, apa yang Ayu sebenarnya lakukan apa yang Bima sembunyikan?

 

 

 

 

 

tepat saat itu juga, Nur melihat dengan mata kepala sendiri, Widya melangkah masuk ke pawon (dapur) matanya tajam menatap Nur, kaget setengah mati, Nur bertanya pada Widya. “nyapo Wid awakmu nang kene?” (ngapain kamu wid, ada disini?) namun Widya hanya berujar “ojok di terusno”

 

 

 

 

 

(jangan diteruskan) Widya duduk di depan Nur, cara Widya berbicara sangat berbeda, mulai dari suara sampai logat cara menyampaikan pesanya, itu khas jawa sekali yang sampai Nur tidak begitu mengerti. yang Nur tangkap hanya kalimat “salah” “nyawa” “tumbal” itu pun tidak jelas