Tambak Udang Ramah Iklim di Sulteng Hasilkan Panen Perdana 50 Ton

oleh

Jakarta, KRsumsel.com – Tambak udang berbasis alam di Desa Lalombi Donggala Sulawesi Tengah mencatat panen perdana dengan hasil 52 ton per hektare yang menggembirakan karena menjadikannya model tambak vaname ramah iklim pertama di Asia yang sukses secara produksi sekaligus konservasi.

“Pendekatan ini mengintegrasikan instalasi pengolahan air limbah (IPAL), praktik budi daya yang efisien, dan pemulihan mangrove sebagai biofilter alami. Hasilnya adalah keseimbangan antara peningkatan produksi dan pelestarian ekosistem pesisir,”kata Fisheries and Aquaculture Program Manager Konservasi Indonesia Burhanuddin di Jakarta, Senin (16/6).

Panen dilakukan selama tiga hari, 10–12 Juni 2025, dari areal tambak seluas 2,5 hektare yang dikelola dengan pendekatan Climate Smart Shrimp Farming (CSSF), sebuah inovasi yang menggabungkan teknologi, budi daya berkelanjutan, dan restorasi mangrove untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan degradasi pesisir.

Program ini melibatkan kolaborasi multipihak, termasuk Konservasi Indonesia, startup teknologi akuakultur JALA, Universitas Tadulako, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Area tambak CSSF berada dalam satu kawasan seluas 10 hektare di Desa Lalombi lengkap dengan instalasi IPAL, dan kawasan restorasi mangrove seluas 3,5 hektare yang diperkirakan mampu menyerap sekitar 3.700 ton karbon dioksida setara (CO₂e) per tahun.

Baca juga: ASN Kemenaker Dipanggil KPK jadi Saksi Kasus Pemerasan TKA

CEO JALA Aryo Wiryawan menyebutkan, bahwa selain itu, sistem pemantauan kualitas air dan pelacakan produksi secara real-time juga menjadi kunci keberhasilan panen perdana dengan hasil mencapai 52 ton per hektare.

“Udangnya berukuran optimal, hingga 24 ekor per kilogram, dan telah memenuhi standar ekspor,”kata dia. Pihaknya menilai pendekatan ini berpeluang menjadi model nasional yang bisa direplikasi di berbagai wilayah pesisir Indonesia.

“Inilah masa depan budidaya yang menjawab krisis iklim, menjaga lingkungan, dan menyejahterakan masyarakat,”ujar Aryo. Dari sisi konservasi, peneliti Riset Karbon Biru BRIN Mariska Astrid mengatakan bahwa tambak CSSF sebagai solusi berbasis alam yang efektif dalam memulihkan kualitas perairan pesisir.

Dia menjabarkan, air buangan yang awalnya berbuih akibat limbah tambak menjadi jernih sebelum mengalir ke laut, sampel air yang diambil ini menunjukkan adanya penyaringan alami oleh mangrove. Selain nilai ekologis, pendekatan ini juga membuka peluang ekonomi biru bagi masyarakat.

Koperasi lokal seperti Tambak Sari Lestari dan Yayasan Bonebula dilibatkan dalam proses produksi, menjadikan kegiatan tambak tidak hanya berorientasi pada hasil tetapi juga keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Menurut Mariska, keberhasilan panen perdana di Lalombi sekaligus memperlihatkan bahwa kolaborasi antara teknologi, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat dapat menghadirkan sistem budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim, mendukung ketahanan pangan dan ekonomi pesisir secara berkelanjutan.(net)