Bangka Barat, KRsumsel.com – Pemerintah Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun ajaran 2025/2026 mulai menerapkan program wajib belajar 13 tahun guna mendukung upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah itu.
Bupati Bangka Barat Markus di Mentok, Kamis (12/6) mengatakan, program ini merupakan perluasan dari program wajib belajar sebelumnya, yang mencakup pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat.
“Hari ini kami bersama seluruh pemangku kepentingan dan instansi terkait melaksanakan rapat koordinasi agar program wajib belajar 13 tahun dan penanganan anak tidak sekolah yang akan kita jalankan berhasil dengan baik dan sesuai aturan yang ada,”katanya.
Baca juga: Gunung Semeru Erupsi Empat Kali, Letusan Setinggi 1.000 Meter
Dia menjelaskan, tujuan program ini memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan minimal selama 13 tahun, termasuk satu tahun pendidikan prasekolah. Menurut dia, satu tahun prasekolah bukan sekadar masa pengenalan belajar, melainkan fondasi penting bagi perkembangan kognitif sosial dan emosional anak.
Untuk itu katanya, intervensi pendidikan pada usia dini perlu dilakukan karena akan berdampak jangka panjang terhadap persiapan belajar, partisipasi pendidikan, dan produktivitas ekonomi di masa depan. Pemkab Bangka Barat menjamin kualitas PAUD dengan akses merata hingga pelosok disertai penyediaan kurikulum relevan dan kontekstual.
“Kebijakan program wajib belajar 13 tahun dengan memasukkan satu tahun prasekolah menjadi langkah strategis dan perlu dukungan semua pihak, baik dari kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat,”katanya.
Terkait masih adanya anak tidak sekolah di daerah itu menurut dia, hal tersebut riil, sedangkan jika tidak segera ditangani dengan tepat dan sistematik penyebab utamanya maka akan memunculkan kesenjangan struktural.
Beberapa penyebab anak tidak sekolah di daerah itu, antara lain faktor ekonomi, akses geografis, ketimpangan jender, trauma sosial, dan konflik keluarga.
Dengan wajib belajar 13 tahun, ia optimistis program ini tidak cukup sekadar memperluas kuota atau membangun infrastruktur fisik,namun juga akan dijalankan dengan pendekatan inklusif berbasis data dan berorientasi pada kebutuhan anak.
“Penanganan anak tidak sekolah akan kita mulai dengan pemetaan yang presisi dan detail terkait siapa, mengapa, kendala mendasar, jarak rumah dengan sekolah dan hal lainnya,”katanya.
Dengan pola penanganan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, seperti dinas terkait, camat, lurah dan kepala desa, organisasi mitra serta para orang tua, ia optimistis program ini berhasil sehingga hak anak usia dini terjaga dan anak mampu tumbuh dan berkembang secara holistik menuju masa depan yang lebih baik.(net)