Jakarta, KRSUMSEL.com – Survei yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan, hujatan atau ucapan yang merendahkan masih menjadi salah satu peristiwa yang kerap dihadapi perempuan di dunia politik.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik BRIN Kurniawati Hastuti Dewi menjelaskan dalam diskusi jelang Hari Ibu yang diadakan BRIN secara daring di Jakarta, Rabu (18/12), pihaknya melakukan survei daring jelang Pemilu 2024 pada Juni 2023 terhadap 283 perempuan anggora organisasi nonpemerintah di 30 provinsi.
Sebanyak 45 responden diantaranya memiliki pengalaman kontestasi elektoral baik sebagai calon legislatif di Pemilu 2019 maupun 2024 atau mencalonkan diri sebagai kepala desa/kelurahan.
“Hujatan psikologis atau perendahan psikologi tentang ketidakmampuan berkiprah di politik menjadi peristiwa yang paling banyak dialami oleh responden,”jelasnya.
Survei memperlihatkan, 26,7 persen di antara responden mengaku kadang-kadang mengalami, 11,1 persen sering mengalami dan bahkan 4,4 persen mengaku selalu mengalami kejadian hujatan atau perendahan tersebut.
Survei yang sama memperlihatkan, pengancaman atau kekerasan fisik menjadi peristiwa kedua yang kerap dialami oleh responden. Dengan 22,2 persen mengaku kadang mengalaminya dan 2,2 persen sering mengalaminya.
Baca juga: Aitana Bonmati Pemain Wanita Terbaik FIFA 2024
Para responden juga mengatakan kerap mengalami perusakan alat kampanye atau alat peraga kampanye.
Kurniawati mengatakan, hal itu kemudian direfleksikan dalam Pemilu 2024 di mana masih ditemukan hujatan psikologis dan hoaks menimpa caleg perempuan, terutama dalam kaitan dengan tren digitalisasi model kampanye yang diwadahi media sosial.
Tidak hanya bagi yang berkecimpung langsung dalam pemilihan, hal serupa juga dialami perempuan yang bergerak dalam pergerakan di tingkat akar rumput. Dengan survei menemukan hujatan psikologi menjadi peristiwa yang paling banyak dialami responden, 27,21 persen melaporkan kadang mengalami, 7,42 persen sering mengalami dan 3,53 persen selalu mengalami.
Responden juga melaporkan mendapatkan fitnah dan terkadang kekerasan fisik karena aktivitas mereka.
“Data-data ini penting karena persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam politik itu umumnya dianggap normal. Ada istilah cost of politics, bahwa kalau perempuan mau aktif dalam politik itu harus ada harganya,”jelasnya.
Dengan demikian, dia mengharapkan data-data tersebut dapat meningkatkan kesadaran bahwa hal-hal seperti itu harus diwaspadai dan perlunya mengubah pendekatan yang berlaku.(net)