“Kedua, secara aturan tidak bisa. Karena presiden 2 periode, tidak bisa lagi maju sebagai cawapres. Karena menurut pasal 8 (pasal 8 Ayat 1 UUD NRI 1945) cawapres akan menggantikan presiden jika mangkat, berhenti, atau diberhentikan. Jika jokowi jadi wapres, dia tidak bisa menggantikan presiden, karena sudah 2 periode jadi presiden,” jelas Usep.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menyebut presiden yang telah terpilih dua periode masa jabatan boleh mencalonkan kembali sebagai calon wakil presiden dalam pemilu. UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden.
“Soal presiden yang telah menjabat dua periode lalu mencalonkan diri sebagai cawapres, itu tidak diatur secara eksplisit dalam UUD,” ujar Fajar kepada merdeka.com, Senin (12/9).
UUD 1945 Pasal Pasal 7 menjelaskan, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Di dalam aturan tersebut, dapat dimaknai presiden dua periode masih bisa menjabat lagi sebagai wakil presiden. Secara normatif diperbolehkan, tetapi masalahnya terdapat dalam kacamata secara etika politik.
“Secara normatif mau dimaknai ‘boleh’ sangat bisa. Secara etika politik dimaknai ‘tidak boleh’, bisa juga. Tergantung argumentasi masing-masing,” ujar Fajar.
Dia menjelaskan, tidak ada aturan secara eksplisit dalam UUD 1945 presiden menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan sebagai calon wakil presiden. Sebab konstitusi secara eksplisit hanya menyebutkan presiden atau wakil presiden menjabat lima tahun, dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali selama satu periode dalam jabatan yang sama.
“Intinya, itu tidak ada aturan eksplisit di UUD,” kata Fajar.
Sementara, MK memberikan klarifikasi terkait pernyataan Juru Bicara MK Fajar Laksono terkait presiden yang telah menjabat dua periode bisa mencalonkan sebagai calon wakil presiden. Pernyataan tersebut bukan menjadi sikap resmi Mahkamah Konstitusi.
“Pernyataan mengenai isu dimaksud bukan merupakan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi RI,” tulis rilis resmi MK, Kamis (15/9).
Fajar selaku Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK serta juru bicara tidak menyampaikan dalam diskusi formal, resmi, doorstop media, dan pertemuan khusus untuk membahas isu tersebut. Namun, Fajar menjawab melalui wawancara melalui WhatsApp kepada media.
Fajar di luar tugas sebagai juru bicara MK, merupakan pengajar atau akademisi. Karena itu membuka komunikasi dengan media untuk membahas isu aktual.
“Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan selama ini membuka ruang bagi wartawan yang ingin, baik bertemu secara langsung di ruang kerja, melalui chat WA, atau sambungan telepon, guna mendiskusikan isu-isu publik aktual, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik. Umumnya, wartawan ingin mendapatkan tambahan informasi, pemahaman, atau perspektif berbeda guna memperkaya sudut pandang, tidak untuk keperluan pemberitaan,” jelas MK. (merdeka.com)