Akademisi: Aceh Butuh Mekanisasi Produksi Garam

oleh
Screenshot_2021-06-14-21-53-31-24
banner DPRD OKI

Banda Aceh, KRsumsel.com – Akademisi Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala (USK) Dr Suhrawardi Ilyas MSc menilai Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi ladang garam Indonesia, dan butuh sentuhan teknologi dan mekanisasi dalam upaya meningkatkan produksi garam setiap tahunnya.

“Selama ini produksinya (garam) hanya produksi rakyat, artinya dengan cara yang sangat tradisional, volume produksinya juga kecil sekali,” kata Suhrawardi di Banda Aceh, Senin.

Suhrawardi menyebutkan kebutuhan garam masyarakat Aceh sekitar 50.000 ton per tahun, baik untuk konsumsi maupun dalam memenuhi kebutuhan industri rumahan. Sedangkan tingkat produksi garam menurut data pemerintah rata-rata sekitar 11.000 ton per tahunnya.

Menurut dia, angka produksi garam per tahun itu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi yang ada. Apalagi cara masyarakat mengelola potensi garam itu juga masih menggunakan cara-cara tradisional.

“Jadi belum ada sentuhan teknologi, mekanisasi, untuk menghasilkan garam, baik metode penguapan dan volume pengerjaannya. Produksi kita itu rendah, sementara potensi (garam) kita besar,” katanya.

Suhrawardi menjelaskan potensi garam di Aceh sangat besar, yang dapat dilihat dari garis pantai provinsi paling barat Indonesia itu yang begitu panjang.

Ia juga mengemukakan bahwa perairan laut teluk dan muara dengan dataran pantai yang luas di Aceh dinilai sangat tepat untuk wilayah produksi garam.

Ia menilai sepanjang garis pantai di pesisir timur Aceh itu sangat cocok menjadi ladang garam. Menurutnya dari Kabupaten Aceh Besar hingga ke Aceh Tamiang terdapat 800 kilometer garis pantai yang dapat menjadi wilayah produksi garam.

“Dengan areal pantai yang luas, perairan laut yang tidak begitu bergejolak, jadi cukup panjang untuk wilayah produksi garam. Sedangkan wilayah pantai barat selatan Aceh kurang cocok karena pantainya berupa batu-batu, tapi tidak semua,” katanya.

“Dan selama ini kantong produksi garam itu cuma di Bireuen, Pidie, dan Aceh Besar, tapi ada banyak tempat yang sudah tidak ada lagi, cuma beberapa yang masih mengelola garam,” katanya.

Selama ini, kata Suhrawardi, masyarakat masih memproduksi garam dengan cara tradisional yakni memasak dalam waktu berjam-jam untuk mendapatkan hanya beberapa kilogram garam.

Jadi belum ada sistem produksi garam di Aceh dengan memanfaatkan sentuhan teknologi seperti pemompaan air laut hingga penguapan secara mekanik, agar prosesnya lebih cepat dan menghasilkan garam dalam jumlah besar.

Padahal, masih menurut dia, dirinya dan sejumlah akademisi lain telah membuat penelitian tentang mekanisasi produksi garam. Sehingga pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti penelitian itu dalam upaya meningkat produksi garam di daerah Tanah Rencong itu.

Apalagi, menurut dia, Aceh memiliki kondisi cuaca panas yang cukup panjang, sehingga dapat mempercepat proses penguapan dalam produksi garam tersebut.

“Jadi Januari hingga Mei itu bulan panas, udara kita lumayan panas. Juni sampai Agustus itu bulan hujan, dan September, Oktober kita bulan panas lagi,” katanya.(Anjas)