Catatan Kritis dari Perspektif Seorang Advokat
Oleh : Aulia Aziz Al Haqqi, SH.,MH.,CCLE
Sebagai advokat, Saya melihat dengan cermat dinamika perubahan hukum pidana nasional, khususnya menjelang implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku efektif mulai 2 Januari 2026.
Salah satu isu yang menimbulkan polemik dan memerlukan kehati-hatian adalah kriminalisasi hubungan seksual diluar ikatan perkawinan.
Apa yang selama ini dianggap sebagai ranah privat atau kesepakatan antara dua orang dewasa yang suka sama suka, kini dapat menjadi objek tindak pidana- jika dilaporkan oleh pihak tertentu yang berwenang secara hukum. Ini bukan sekadar perubahan teknis dalam norma hukum, tapi sebuah pergeseran fundamental dari privasi menuju pengawasan sosial melalui instrumen pidana.
Dari Moral Pribadi ke Ruang Pidana: Perubahan Paradigma KUHP
Pasal 411 KUHP Baru menyebutkan:
“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Secara yuridis, ini merupakan perluasan makna tindak pidana perzinaan yang sebelumnya dibatasi hanya pada pelaku yang telah menikah (pasal 284 kuhp lama). kini, bahkan dua orang dewasa yang belum menikah secara sah dan melakukan hubungan seksual dapat dipidana, asalkan ada pengaduan dari pihak yang secara hukum berhak melaporkan.
Sebagai advokat, saya menilai bahwa pasal ini menempatkan moralitas ke dalam ranah hukum pidana, yang secara teori hukum modern seharusnya dipisahkan secara tegas antara moral wrong dan legal wrong.
Pasal ini merupakan delik aduan absolut, yang artinya aparat penegak hukum tidak dapat memproses perkara ini tanpa adanya laporan dari pihak tertentu.
Yang menarik dan menjadi titik sorotan saya adalah, untuk kasus hubungan di luar nikah, yang dapat mengajukan aduan adalah: orang tua atau anak dari salah satu pihak yang terlibat.
Artinya, orang tua laki-laki atau perempuan dapat melaporkan anaknya yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan atau terlibat dalam hubungan seksual dengan pacarnya di luar ikatan pernikahan. sehingga membuka peluang penegakan hukum bagi pihak yang selama ini sulit dijangkau.
Ini menciptakan ruang hukum baru yang sebelumnya tidak ada dalam KUHP lama, dan membawa konsekuensi serius secara praktis dan sosiologis. dan harus tetap menjadi perhatian kita bersama bahwa pemberian legal standing seperti ini membuka potensi kriminalisasi berdasarkan konflik keluarga, tekanan moral, atau bahkan penyalahgunaan laporan pidana untuk kepentingan tertentu (misalnya paksaan untuk menikah, atau kontrol terhadap pilihan pasangan anak).
Penerapan Hukum dalam pasal ini yakni Perzinaan yang terbukti berdasarkan laporan dapat dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal kategori II (sekitar Rp10 juta).
Namun, perlu diketahui, sebagai delik aduan absolut, proses hanya dapat berjalan jika aduan tidak dicabut sebelum perkara masuk tahap persidangan di pengadilan. Berdasarkan Pasal 412 KUHP, pencabutan pengaduan masih dimungkinkan pada tahap penyidikan dan penuntutan.
Nasihat Hukum bagi Generasi Muda dan Masyarakat
Sebagai praktisi hukum, saya memberikan nasihat bagi masyarakat, khususnya generasi muda:
1. Pahami bahwa hubungan seksual suka sama suka di luar nikah dapat berujung pidana, jika dilaporkan oleh orang tua.
2. Jangan menganggap urusan pribadi sepenuhnya kebal dari hukum, karena pergeseran norma hukum bisa menjadikan tindakan yang dahulu tidak dilarang, kini menjadi tindak pidana.
3. Bangun komunikasi terbuka dalam keluarga, karena konflik nilai antara orang tua dan anak kini dapat melibatkan aparat hukum.