KRSUMSEL.COM, Palembang – Terkait adanya perdamaian antara korban Taf dan dr MY atas peristiwa dugaan cabul yang terjadi di RS Bunda Palembang beberapa waktu lalu dan kasusnya ditangani Polda Sumsel membuat salah satu kuasa hukum korban yakni Redho Junaidi Sh angkat bicara, Minggu (24/1).
“Untuk Restoratif Justice atau perdamaian tersebut saya tidak tahu, karena tidak pernah dilibatkan dalam perdamaian itu,” katanya.
Lanjutnya, dari stetemen kuasa hukum dr My di Media, perdamaian itu melibatkan kuasa hukum korban, yakni Febri.
“Jadi silahkan konfirmasi ke Febri. Perdamaian itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya,” jelasnya.
Redho juga mengatakan, mengenai ‘uang damai’, ia menganjurkan untuk langsung mengkonfirmasi dengan bersangkutan. Ia menjelaskan, saat itu dirinya tidak ada di agenda perdamaian kasus tersebut.
Menurut Redho, perdamaian dalam UU TPKS pasal 6b dan atau 15 bukanlah delik aduan dan RJ tidak berlaku dalam perkara tsb (pasal 23) sehingga tidak menghentikan perkara dan harus dilanjutkan.
Dalam agenda perdamaian kasus, Redho mengaku dirinya tidak menerima uang apapun. Meskipun dirinya sempat dimintai rekening akan tetapi dirinya tidak memberikan nomor rekening.
“Pertanyaannya apakah bersedia dr. MY memberikan sejumlah uang, sementara dia tahu perkara ini tetap lanjut. Makanya saya tidak ada mau menerima uang ataupun memberikan rekening,” tegasnya.
Lanjut Redho, beberapa hari yang lalu, dirinya mendapatkan pesan melalui aplikasi WhatsApp dari nomor Hp kliennya mengenai pencabutan Pemberian Kuasa. Namun, Redho menilai tanda tangan yang tertera sangat berbeda antara Surat Kuasa dan Pencabutan Kuasa.
“Diduga seperti dipalsukan. Selain itu saya juga sempat mau konfirmasi ke klien saya melalui telepon dan aplikasi WhatsApp, namun no hp sudah tidak aktif dan pesan tidak dibaca,” ungkapnya.
“Tetapi terlepas kuasa atau bukan tetap kawal perkara ini selaku pihak ketiga yang berkepentingan berdasarkan pasal 80 KUHAP,” tegasnya.
Lebih jauh ia mengatakan, secara hukum perdamaian dalam perkara aquo tidak menghentikan perkara ini.
“Dengan alasan, jadi perdamaian secara hukumnya dalam perkara asusila ini adalah untuk meringankan hukuman bukan menghentikan perkara,” bebernya.
Sambungnya, justru jika benar ada uang damai tersebut, uang damai tersebut membuktikan bahwa benar pelaku melakukan perbuatan asusila tersebut.
“Karena untuk apa uang sebesar itu ia berikan. Karena yang ingin digali di sini adalah kebenaran, sedangkan Dr MY tidak mengakui perbuatannya,” katanya.
Redho juga menuturkan, pada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tertanggal 29 Februari 2024 dari Direskrimum Polda Sumsel ke Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel diterapkan pasal 6b dan atau pasal 15 ayat (1) huruf b UU no.12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (UUTPKS).
Penerapan pasal dalam SPDP tersebut berdasarkan pengumpulan alat bukti selama proses penyelidikan yang telah menelan waktu lebih kurang 68 hari (lebih kurang 2 bulan 1 minggu), kemudian disimpulkan berdasarkan alat bukti yg diperoleh ditingkatkan ke penyidikan dengan penerapan pasal 6 huruf b dan pasal 15 ayat 1 huruf n UU TPKS.
Selanjutnya, Pasal 23 UU TPKS : perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. Sedangkan tersangka dr MY pelaku dewasa.
“Jadi terlepas ada perdamaian atau tidak dalam perkara ini, berdasarkan hukum Pasal 23 UU TPKS harus dilanjutkan ketika ada pihak yang tidak melanjutkannya adalah melanggar UU Dan tidak ada hukum yang mengatakan pelanggaran pasal 6b dan 15 UU TPKS adalah delik aduan yang bisa dicabut kemudian dihentikan perkara, kalau ada di mana dasar hukumnya. UU TPKS memerintahkan lanjutkan perkara tersebut,” katanya.