Artikel ini berisi dokumentasi perjalanan saya bersama teman-teman saya sewaktu melakukan pendakian di puncak Songolikur gunung Muria Kudus, Jawa Tengah. Saya posting ulang artikel ini untuk bernostalgia dan mengenang kembali kisah petualangan kami terutama ketika kami semua masih menimba ilmu di kota Semarang.
Adakalanya hidup itu perlu refreshing dan berpetualang. Inilah yang akhirnya mendasari kami untuk berangkat menjelajah, mengakrabi, bersua dan bersatu dengan alam, agar semakin sadar akan kebesaran Sang Pencipta, Allah SWT.
Kami berlima (saya Santos, Kang Reza, Kang Mukhlis, Kang Alim, dan Kang Fakhri) memutuskan untuk mendaki gunung. Berhubung kami masih pemula, khususnya saya, maka kami sepakat untuk melakukan pendakian ke puncak songolikur di gunung Muria, Kudus.
Gunung Muria terletak di desa Rahtawu, Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa tengah dan memiliki ketinggian 1.602 mdpl. Gunung Muria diketahui memiliki banyak puncak, dengan puncak songolikur (puncak 29) atau disebut juga puncak saptorenggo sebagai puncak yang tertinggi.
Adapun jalur pendakian menuju puncak songolikur sebetulnya ada dua, yakni jalur Rahtawu Gebog Kudus, dan jalur Tempur Keling Jepara. Karena kami berangkat dari rumah kang Reza yang berada di Mejobo, Kudus, maka kami memilih melalui jalur Rahtawu.
Pendakian menuju puncak songolikur di gunung Muria ini kami lakukan pada hari sabtu tanggal 20 sampai minggu 21 Desember 2014. Persiapan pendakian dimulai saat saya dan kang Alim, pada malam sebelum pendakian (malam sabtu) menginap di rumah kang Reza di Kudus, sementara kang Mukhlis dan kang Fakhri datang sabtu pagi hari waktu hari pendakian.
Setelah kang Muklis datang dari Purwodadi dan kang Fakhri datang dari Rembang, kami semua berkumpul terlebih dahulu di rumah kang Reza. Namun ternyata cuaca kelihatannya tidak bersahabat hari itu, karena hujan yang turun dari pagi justru semakin deras.
Setelah menunggu beberapa lama dan hujan sedikit reda, akhirnya menjelang tengah hari kami memutuskan untuk berangkat. Sebelumnya kami juga mempersiapkan perbekalan yang akan kami bawa, dan berangkatlah kami menuju desa Rahtawu dengan bersepeda motor.
Perjalanan menuju desa Rahtawu ini sempat diwarnai dengan insiden terpisahnya rombongan, meski akhirnya rombongan dapat bertemu kembali. Setelah melewati jalanan yang sempit berbatu dengan genangan air hujan, maka sampailah kami di gerbang desa Rahtawu, desa terakhir untuk menuju jalur pendakian.
Kami sempatkan berhenti sejenak di masjid untuk sholat dzuhur dan kemudian makan di warung pinggir jalan untuk mengisi tenaga. Setelahnya, perjalanan motor kami akhirnya benar-benar terhenti di lokasi tempat parkiran motor desa Rahtawu.
Baca Juga : Kisah Istri Rasulullah yang ‘Paling Panjang Tangannya’
Pendakian menuju puncak songolikur di gunung Muria ini memang belum ada basecampnya, yang ada hanya tempat penitipan sepeda motor dan pembayaran karcis mendaki sebesar 2000 rupiah per orang. Setelah memarkirkan sepeda motor dan membayar karcis masuk, kami pun bersepakat untuk langsung melakukan pendakian.
Sebelum mendaki tidak lupa kami berdoa terlebih dahulu agar diberi keselamatan, kesehatan, dan sampai di tujuan dengan selamat. Tepat sekitar jam 3 sore, pendakian menuju puncak songolikur pun dimulai.
Di awal-awal pendakian, kami sering menjumpai dan berpapasan dengan warga sekitar yang lalu lalang dari berkebun di gunung. Pemandangan hijaunya alam yang indah, tebing-tebing tinggi dan jernihnya air sungai menyapa kami di sepanjang perjalanan.
Sembari menikmati indahnya pemandangan, kami isi perjalanan ini dengan obrolan-obrolan ringan di antara kami. Ada momen lucu ketika kang Fakhri salah atau keliru dalam membaca sebuah papan peringatan yang ditempel di sebatang pohon. Papan yang bertuliskan ”dilarang menebang pohon” dibaca menjadi ”dilarang menendang pohon” oleh Kang Fakhri. Tentu saja hal itu membuat kami semua tertawa. Bahkan sepanjang perjalanan, kalimat tersebut akhirnya menjadi bahan guyonan di antara kami berlima.
Sekitar 30 menit berjalan mendaki, tepat di persimpangan jalur kami berhenti untuk beristirahat. Kebetulan ada seorang warga pencari kayu yang sedang melintas dan juga ikut beristirahat di dekat kami. Kami pun kemudian bertanya kepada bapak tersebut mengenai kedua jalur yang ada di depan kami.
Bapak tersebut menjelaskan bahwa dari kedua jalur itu, satu jalur langsung menuju puncak sedangkan satunya lagi juga menuju puncak tapi melalui sendang bunton dan ada musholla kecil untuk sholat. Mendengar keterangan dari bapak tersebut, akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan melalui jalur sendang bunton.
Saat berjalan menuju lokasi sendang bunton dengan mulai banyaknya tanjakan, masalah pun muncul. Hal ini disebabkan karena saya seperti kehilangan daya untuk melangkah, seakan tenaga saya sudah habis dan wajah terlihat pucat, maklum pertama kalinya mendaki gunung. Dengan terpaksa akhirnya kami memutuskan beristirahat kembali di depan sebuah gubuk.
Setelah dirasa cukup, dengan memaksakan berjalan pelan, tidak begitu lama akhirnya sampailah kami di sebuah tempat istirahat dan mushola kecil yang diatasnya juga terdapat sebuah sendang, yakni sendang bunton. Karena telah memasuki waktu ashar, kami akhirnya menyempatkan sholat ashar dan istirahat sebentar. Setelahnya kami mampir juga di sendang bunton untuk mencicipi airnya yang berasa seperti soda.