“Tentunya ini dengan melibatkan berbagai pihak serta segera ada pengambilan keputusan, lalu kemudian muncul aksi agar masyarakat terhindar dari kepanikan,” kata Nursila Dewi di Surabaya, Rabu.Gagasan tersebut juga telah disampaikan Nursila saat menjadi pemateri acara Webinar Geliat Airlangga Seri-16, yang bertajuk Komunikasi sebagai Alat Pencegahan Penyebaran COVID-19 bagi tim promosi kesehatan di dinas kesehatan kabupaten/kota dan rumah sakit, serta tokoh masyarakat yang tergabung di organisasi masyarakat pada Selasa (22/12).
Menurut dia, komunikasi risiko ini diperlukan agar bisa terbangun kepercayaan, informasi cepat disampaikan, untuk mengomunikasikan ketidakpastian kepada masyarakat, untuk berkoordinasi dengan semua pihak yang terlibat, untuk mengutamakan dan mengupayakan transparansi, proaktif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Ia menjelaskan di berbagai negara ada negara-negara yang pandai mengomunikasikan ketidakpastian, tetapi ada pula negara-negara yang terlalu percaya diri sehingga terjadi ketidakpastian di masyarakat. Seperti contoh di saat pandemi COVID-19 ada negara yang semula mengumumkan orang yang sehat tidak perlu menggunakan masker, namun kemudian belakangan mengakui bahwa memang semua harus menggunakan masker.
Nursila mengatakan yang namanya penyakit baru itu tidak akan ada orang tahu bagaimana akhirnya, penyebaran, hingga apa yang akan terjadi kemudian. Sehingga, kata dia, pemerintah agar terus menerus mengomunikasikan ketidakpastian tersebut.
“Dengan begitu kita akan mendapatkan kerjasama yang lebih baik,” kata Nursila.
Dari penelitian kolaborasi yang dilakukan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Savica Consultancy, kata dia, menunjukkan sebesar 31,50 persen masyarakat memilih kelompok RT/RW sebagai tempat pilihan mendapatkan informasi tentang pandemi COVID-19.
Kelompok RT/RW ini berada di posisi kelima dipilih oleh masyarakat setelah kelompok aparat dan instansi pemerintah (69,80%), tenaga kesehatan (64,40%), tokoh masyarakat (42,10%), dan kelompok akademisi/lembaga penelitian (34,20%).
Sementara itu, Ketua Pusat Pengembangan Media dan Kehumasan Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo mengatakan untuk menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat dalam komunikasi risiko di masa pandemi COVID-19.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga seharusnya mengalokasikan dana khusus untuk melakukan proses komunikasi dan penyebaran informasi penanggulangan pandemi COVID-19 di masyarakat. Dana ini disarankan agar diberikan dan dikelola langsung oleh kelompok-kelompok komunitas, di tingkat-tingkat terkecil di lingkungan masyarakat.
“Pemerintah seharusnya jangan merasa pintar. Serahkan saja sejumlah dana yang dialokasikan untuk komunikasi kepada kelompok-kelompok masyarakat di lingkungan paling bawah seperti NU, Muhammadiyah, Dasa Wisma, RT/RW, Media, dan yang lain-lain, karena mereka yang paling mengetahui dan memiliki cara komunikasi sendiri. Jika ada dukungan finansial yang memadai, maka proses komunikasi itu akan cepat teratasi,” katanya.
Kelompok-kelompok di tingkatan terkecil di masyarakat ini, dianggap Suko Widodo sebagai pihak yang paling mengetahui bagaimana cara menyebarkan informasi yang tepat kepada lingkungan sekitar mereka. Mereka memiliki informasi dan tahu persis bagaimana komunikasi harus dilakukan.
Menurutnya, saat ini yang terjadi adalah tidak pekanya pemerintah dan tidak percayanya masyarakat dengan hal-hal yang bersifat saintis, sehingga terjadi overload communicated. Akibatnya otoritas tidak dipercaya.
“Sebuah proses komunikasi bukan hanya sekedar mentransfer pesan, tapi juga ada perasaan emosi yang ikut serta di dalamnya. Komunikasi yang dibutuhkan saat ini adalah yang simpel, jangan terlalu tinggi sehingga masyarakat paham,” kata Suko.(Anjas)