Julius kemudian menjelaskan kasus-kasus pembubaran diskusi telah terjadi sejak era pemerintahan Soeharto, era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga ke era pemerintahan Jokowi. Julius mengatakan model pembubaran diskusi dari masa ke masa pun hanya mengalami perubahan moda atau sarananya saja.
“Ya kita tahu pembubaran diskusi bahkan sampai dengan kriminalisasi banyak sekali dari jaman Soeharto. Kemudian SBY juga tidak mencatat jumlah yang sedikit. Di pemerintahan Jokowi per tahun 2014 dimulai itu hanya berbeda modanya saja, sarananya saja. Kalau dulu kertas per kertas, kemudian tulisan per tulisan, diskusi pangung per panggung. Sekarang berbeda yaitu internet, status media sosial, dan lain-lain,” ujar Julius.
Julius menjelaskan di era digital saat ini, salah satu bentuk pembubaran diskusi adalah melalui media sosial. Salah satu yang disorotinya adalah soal keberadaan buzzer.
Menurutnya, sebuah unggahan yang cenderung dianggap berlawanan dengan pemerintah akan mengalami serangan dari buzzer, yang kemudian berakhir dengan sebuah teror.
“Pertama adanya buzzer. Bang Arzul paling paham lah update betul di IG dan Twitter. Bagaimana ketika Tempo mencoba memberitakan sesuatu yang tanda kutip dianggap anti-retorika terhadap apologi pemerintah, itu langsung diserang buzzer. Kita sudah tahu lah hafal nama-nama buzzer itulah, baik yang manusia beneran ataupun yang akun bot. Itu langsung luar biasa. Kemudian dilanjutkan dengan teror, baik itu surat,” ucap Julius.
Julius kemudian mengatakan teror merupakan suatu jalan pintas dalam upaya menghentikan sebuah diskusi. Dia mengatakan, pemerintahan Jokowi tampak resah terhadap situasi pemberitaan dan perkembangan status media sosial masyarakat. Hal ini, menurut Julius, cenderung menimbulkan kriminalitas terhadap pegiat di sosial media marak terjadi.